Mantra Baru….

Dua orang yang sedang tertawa lebar di foto ini adalah bapak ibu saya, 2 tahun lalu di perayaan ulang tahun perkawinan mereka yang ke-40. Iya 40, bukan 50. nggak salah baca kok!


Kalau Anda – karena melihat pakaian dan dandanan yang dipakai bapak ibu saya – berpikir, biasanya kan ulang tahun perkawinan ke-50, yang sering disebut dengan pesta emas, yang di-“rame-ramein”dengan acara khusus? Nah, pikiran Anda, sama dengan pikiran saya ketika mereka berdua bilang mau bikin acara perayaan ultah pernikahan ke-40 ini.


Saya mempertanyakan rencana mereka mengadakan perayaan itu bukan dalam konteks tidak setuju, tidak suka, julid, dan hal-hal negatif lainnya. Justru, sebaliknya, dalam pikiran saya muncul “kekhawatiran”, kok, baru 40 tahun udah mau dirayakan ya, jangan-jangan……. (eh, amit-amit…*ketok-ketok meja).
Ya begitulah, bukannya ikut gembira, bersemangat menyiapkan acara gembira itu, sayanya malah berpikir terlalu jauh, mengkhawatirkan hal yang nggak perlu dikhawatirkan. 
Sampai suami saya bilang, “Udah, nggak usah mikir macem-macem. Mereka mau ngerayain ya udah, biarin aja. Kita dukung!’ 

Anyway, meski pertanyaan saya tentang, “kok pengin merayakan di ultah ke-40?” masih belum terjawab tapi tentu, sepenuh hati saya membantu mendukung pelaksanaan acara itu. pesan dan bungkus2 souvenir untuk tamu, menyiapkan tempat dan bantu dekorasi, juga hal-hal lain, bersama adik2 saya tercintah. 

Sampai akhirnya, beberapa hari sebelum hari H, ada acara kumpul trah Mangunhadi, keluarga besar dari Bapak saya, yang memang rutin dilakukan, 2 tahun sekali. Pada kesempatan itu, Bapak saya mengundang seluruh keluarga besar untuk datang di acara pesta ulang tahun perkawinan mereka.
Saat itulah, seolah bisa membaca pertanyaan di kepala saya, Bapak bilang, “mungkin banyak yang mikir, kok baru ulang tahun ke-40 sudah mau dirayakan? Alasannya cuma satu. Kami merasa hidup keluarga kami diberkahi begitu banyak hal dari Tuhan. Jadi, kami tak sabar untuk bersyukur.”

asli! mendengar kata2 bapak saya saat itu, saya merasa seperti “dikampleng” dengan penuh sayang, hehehe…. 


Sejak hari itu, kalimat Bapak saya itu jadi semacam mantra baru untuk hidup saya. Ketika saya mulai bekah-bekuh, ah-uh, mengeluh tentang ini dan itu, lalu mantra itu otomatis – seperti pengharum ruangan otomatis itu, tahu-tahu, ngagetin, srot-srot, dan wangilah satu ruangan – masuk ke telinga saya, begini:
“….woi, Ver, Bapak Ibuk-mu aja sampai nggak sabar untuk bersyukur, lha kok kowe malah lali bersyukur!”

Matur nuwun ilmu sepanjang hidupnya ya, Pak, Bu. Selamat ulang tahun pernikahan! 🙂

*sejak hari itu, mantranya selalu “nempel” di kepala, tapi akhirnya ditulis dan dipublish hari ini, untuk pengingat siapa tahu suatu saat nanti, saya lupa bersyukur. 🙂